Quiet Quitting, Kerja Secukupnya Demi Work Life Balance


Ada nasihat yang cukup populer di dunia kerja yang berbunyi, “Di kantor itu cari uang, bukan cari teman”. Banyak orang yang mengamini hal tersebut. Dunia kerja itu keras. Asli. Load pekerjaan yang membludak, persaingan, politik kantor, rekan yang nggak kooperatif, dan banyak kasus lainnya.

Makanya, nggak heran kalau banyak orang yang menyarankan untuk bekerja seperlunya. Nggak perlu mati-matian berjuang demi perusahaan. Fenomena kerja seperlunya tersebut disebut juga Quiet Quitting.

Apa itu Quiet Quitting?

Jika dideskripsikan secara arti kata, mungkin kamu akan mengartikannya sebagai keluar diam-diam. Tapi, sayangnya maknanya nggak demikian. Quiet Quitting adalah melakukan pekerjaan secukupnya sesuai dengan peraturan. Tanpa perlu effort lebih seperti lembur atau mengerjakan pekerjaan lain.

Baca juga : Sudah Nabung tapi Tidak Untung? Saatnya Ganti Strategi!

Dengan begitu, nggak ada lagi tuh kerja di luar jam kerja, diganggu saat akhir pekan, atau mengerjakan pekerjaan orang lain. Kamu hanya mengerjakan tugas sesuai porsi yang sudah ditentukan. Nggak ambisius untuk memberikan yang terbaik bagi perusahaan.

Kenapa Quiet Quitting Terjadi?

Bekerja seperlunya ini terjadi karena banyak pekerja yang merasa dieksploitasi. Pandemi yang mengubah sistem kerja, membuat perusahaan sering seenaknya memberikan pekerjaan di luar jam kerja. Work life balance pun terganggu. Belum lagi segala macam politik kantor yang nggak bisa dihindari walau sudah kerja secara remote.

Sementara itu perusahaan nggak memberikan apresiasi yang cukup. Kata loyalitas hanya berlaku untuk karyawan. Bukan perusahaan. Karyawan bekerja melebihi ekspektasi dan jobdesc. Sementara perusahaan hanya membayar sewajarnya. Pekerja merasa nggak adil.

Quiet Quitting jadi semacam senjata efektif untuk mewujudkan work life balance yang jadi impian banyak pekerja. Dengan kerja seperlunya, kamu jadi punya waktu dan energi untuk kehidupan pribadi.

Namun, realitas bisa jadi berkata lain. Pekerja yang kerja secukupnya bisa mendapatkan penilaian buruk dari atasan. Selain itu, kita juga pasti punya idealisme tentang pencapaian profesional.

Perusahaan juga nggak selalu mendukung. Kalau kita terang-terangan menuntut work life balance, perusahaan bisa jadi perusahaan menolak atau mengeluarkan kita. Karena mereka mau dapat sumber daya manusia yang bisa memberikan segalanya. Sayangnya, di luar sana masih banyak orang yang mau dieksploitasi demi dapat pekerjaan.

Next Post Previous Post